Tak hanya orang dewasa atau anak usia sekolah yang dapat mengalami
stres, bayi pun juga dapat merasakannya. Padahal dalam 1.000 hari
pertama kehidupannya, otaknya sedang mengalami pertumbuhan dan
perkembangan dengan pesat, dan stres bisa menghambat proses tersebut.
Psikolog Rini Hildayani menjelaskan, stres merupakan faktor risiko dari kesehatan saluran cerna yang akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan otak. Ini berkaitan dengan gut-brain axis atau hubungan antara saluran cerna dan otak.
"Artinya, jika saluran cerna sehat maka pertumbuhan otak juga baik. Namun sayangnya, stres merupakan faktor risiko dari kesehatan saluran cerna dan bayi juga bisa mengalaminya," jelas Rini dalam konferensi pers Happy Tummy Council betajuk "Gut-Brain Axis: Pencernaan Sehat Awal Si Kecil Cerdas" di Jakarta, Kamis (3/4/2014).
Stres pada bayi, terangnya, dikarenakan perubahan lingkungan yang ekstrem dari rahim ibu ke udara bebas. Saat di rahim segala kebutuhan bayi terpenuhi, sedangkan ketika di luar kandungan, bayi sudah harus mengandalkan refleks-nya sendiri untuk bisa bertahan hidup.
"Inilah yang membuat terkadang bayi juga mengalami stres. Akibatnya, kesehatan sistem cernanya juga mungkin terganggu," kata staf pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini.
Untuk menghindari terjadinya stres pada bayi, maka peran pengasuh adalah yang paling penting. Khususnya bagi ibu yang menyusuinya. Kegiatan menyusui dapat memberikan stimulasi positif yang menghindari bayi dari stres sekaligus menyehatkan pencernaannya.
Saat menyusui, lanjut Rini, terjadi jalinan antara ibu dan bayi. Sentuhan, bau, dan suara ibu akan memberikan rasa nyaman pada bayi sehingga mengurangi kadar stres yang mungkin dialaminya.
Dengan kegiatan itu pula bayi memperoleh nutrisi, termasuk probiotik yang menyehatkan saluran cernanya. Maka tidak heran, penelitian menunjukkan, bayi yang mendapat ASI umumnya lebih cerdas daripada bayi yang tidak mendapat ASI.
Selain itu, untuk menghindari stres pada bayi, pengasuh juga harus pandai meresponnya. "Jika menangis takut maka harus dipeluk, jika menangis lapar maka harus disusui. Jangan sampai terbalik-balik," katanya.
Psikolog Rini Hildayani menjelaskan, stres merupakan faktor risiko dari kesehatan saluran cerna yang akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan otak. Ini berkaitan dengan gut-brain axis atau hubungan antara saluran cerna dan otak.
"Artinya, jika saluran cerna sehat maka pertumbuhan otak juga baik. Namun sayangnya, stres merupakan faktor risiko dari kesehatan saluran cerna dan bayi juga bisa mengalaminya," jelas Rini dalam konferensi pers Happy Tummy Council betajuk "Gut-Brain Axis: Pencernaan Sehat Awal Si Kecil Cerdas" di Jakarta, Kamis (3/4/2014).
Stres pada bayi, terangnya, dikarenakan perubahan lingkungan yang ekstrem dari rahim ibu ke udara bebas. Saat di rahim segala kebutuhan bayi terpenuhi, sedangkan ketika di luar kandungan, bayi sudah harus mengandalkan refleks-nya sendiri untuk bisa bertahan hidup.
"Inilah yang membuat terkadang bayi juga mengalami stres. Akibatnya, kesehatan sistem cernanya juga mungkin terganggu," kata staf pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini.
Untuk menghindari terjadinya stres pada bayi, maka peran pengasuh adalah yang paling penting. Khususnya bagi ibu yang menyusuinya. Kegiatan menyusui dapat memberikan stimulasi positif yang menghindari bayi dari stres sekaligus menyehatkan pencernaannya.
Saat menyusui, lanjut Rini, terjadi jalinan antara ibu dan bayi. Sentuhan, bau, dan suara ibu akan memberikan rasa nyaman pada bayi sehingga mengurangi kadar stres yang mungkin dialaminya.
Dengan kegiatan itu pula bayi memperoleh nutrisi, termasuk probiotik yang menyehatkan saluran cernanya. Maka tidak heran, penelitian menunjukkan, bayi yang mendapat ASI umumnya lebih cerdas daripada bayi yang tidak mendapat ASI.
Selain itu, untuk menghindari stres pada bayi, pengasuh juga harus pandai meresponnya. "Jika menangis takut maka harus dipeluk, jika menangis lapar maka harus disusui. Jangan sampai terbalik-balik," katanya.
No comments:
Post a Comment